Pagiku berlalu dengan sederhana. Menggeliat
saat terbangun dari tidur, lalu mengusap mata sembari melihat ke arah jarum jam
yang telah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Rasanya pagi datang
cepat sekali.
Aku berharap jam dindingku salah. Semoga
diluar sana langit masih gelap.
Tapi perkiraanku ternyata salah besar. Waktu
kubuka tirai jendelaku, rupanya diluar sana cukup terang, kendati matahari
belum tampak seluruhnya. Aku menguap lebar. Rasanya aku ingin sekali kembali
ketempat tidurku, membenamkan diri didalam selimut yang hangat.
Poster besar Afgansyah Reza tertempel lekat
didinding kamarku yang putih, semakin kutatap, semakin tampan wajah dia. Dia
memilki daya tarik tersendiri yang membuatku tak pernah jemu saat memandang
wajahnya, tak heran banyak dari kalangan remaja sampai ibu-ibu yang
mengidolakan dia. Bila ku mendengarkan lagunya “ Dia, dia dia.. cinta yang
kutunggu-tunggu-tunggu” seakan akan dia bernyanyi hanya untukku seorang.. ahhh
andaikan menjadi kenyataan, tak akan pernah ku lewatkan sedetik pun untuk
bersamanya. Ya, aku tau itu hanya khayalan dari seorang penggemar kepada
idolanya, dan mungkin idola dia diluar sana mempunyai mimpi yang sama dengan
ku. Tapi tak apalah, asal suatu hari nanti masih ada kesempatan untuk bertemu
dengannya, aku sudah sangat senang.
Aktifitas yang selalu kumulai dari bangun
tidur adalah mencari benda kecil namun sangat penting didalam hidupku, yang
selalu mengerti aku dan selalu ada disaat aku kesepian yaitu handphoneku. Ku
melirik kemeja kecil yang berada disebelah kanan tempat tidurku, dengan sigap
kuraihnya dan ku memblalakkan mataku. 6 sms, 2 bbm, dan 10 misscalled. Aku
kaget, tak pernah hape ini diserang dengan membabi buta seperti ini. Dengan
rasa sedikit penasaran, kubuka 10 misscalled. Dan semuanya hanya dari temanku
Maya, dan heran tidak biasanya dia menelponku dengan membabi buta seperti ini,
bila tidak penting tak mungkin sebanyak ini. Aku membiarkan pikiranku membuat
banyak pertanyaan disana, dan aku kembali ke 6 sms tersebut. Karna aku heran,
seorang yang hingga sekarang menjomblo ini tak pernah mendapati inboxnya penuh
dengan sms seseorang, bila teman-temanku, mereka lebih senang menggunakan bbm,
karena menurut mereka lebih hidup menggunakan itu, tidak untuk seorang Maya.
Yah, sms itu dari maya semua..
Rabu, 13 February 2013 @ 21:15
Dena, jadi kan besok kumpul dicafe biasa ?
Rabu, 13 February 2013 @ 21:18
Dena, jadi kan besok kumpul dicafe biasa ?
Rabu, 13 February 2013 @ 21:45
Dena, masa udah tidur si? Besok jadikan ?
Ya, hanya berbeda beberapa menit dia mengirim
pesan yang sama dan pertanyaan yang sama pula. Dan aku mulai mengerti mungkin
dia menelponku untuk menanyakan hal yang sama seperti dipesan singkat yang ia
kirimkan, dan aku memulai mengingat bahwa keadaan handphoneku pada malam tadi
hingga pagi menjelang hanya “diam” sehingga tak heran aku tak akan mendengar
pesan singkat yang masuk berulang kali dan panggilan masuk berulang kali.
Ooo iya, aku ada janji dengan mereka untuk
berkumpul di Cafe biasa hari ini, kataku pelan dan tak sadar tanganku telah
berpindah dikeningku.
Segera ku bergegas untuk menuju kekamar mandi
yang berada didalam kamarku.
Setelah tubuh ini wangi, dan lebih tertata
dibandingkan tadi ketika baru bangun dari tidur cantikku. Aku mengirimi pesan
singkat kepada Maya, agar dia tidak bingung dan bertanya-tanya mengapa aku tak
membalas pesan singkatnya tadi malam.
Kamis, 14 Februari 2013 @ 08:15
May, sorry tadi malem gua silent hp gua dan
posisi gua udah tidur tadi malem, hehehe. Jadi kok, jam brapa ya kumpulnya?
Aku tidak harus menunggu lama balasan dari
Maya, karna Maya tipikal seorang remaja yang rajin untuk bangun pagi, dan tak
pernah melewatkan shalat 5 waktunya. Tidak seperti aku. Bila waktu shalat
subhu, Ibu harus berteriak seperti meneriaki maling dan selalu mencubit
tanganku bila aku tak bangun-bangun dari teriakan itu.
Kamis, 14 Februari 2013 @ 08:20
Pantesan, gua hubungin susah amat elunya, jam
10an den.. tapi lu tu jauh rumahnya otewe skarang aja kerumah gua, kita bareng
brangkatnya.. tapi ngapa mendung gini yak ? :(
Aku memandang kearah langit dari jendelaku setelah aku
membaca balasan pesan singkat dari Maya, dan iya betul. Bukan didaerah rumahnya
saja yang mendung namun didaerah rumahku sepertinya akan turun hujan. Karena
akhir-akhir ini cuaca sepertinya lagi labil, tidak mengenal mau pagi ataupun
siang ataupun malam.
Kamis, 14 Februari 2013 @ 08:25
Iya may, tempat gua juga mendung nih, :( mendung
banget malahan, tadi pagi cerah-cerah aja gua liat. Gua usahain deh otewe sekarang.
Aku tipikal seorang yang tak pantang menyerah,
didalam benakku berharap semoga ini hanya awannya saja yang ingin menjadi
gelap, dan masih mau menahan tetesan air hujan itu turun. Kukeluarkan motorku yang selalu terlihat
bersih, dan karna selalu bersih itulah ayah selalu berkicau bila dia ingin
memakainya. Terkadang aaku selalu diberikan contoh oleh ayah, selalu menyuruhku
untuk mengikuti kebiasaan kakakku, yang selalu rajin mencuci motornya bila
sesudah menggunakannya. Namun selalu kuspelekan dan tak kudengarkan omongan
ayah itu, karna kadar kerajinan orang itu kan selalu berbeda. Toh bila
mencucinya setiap hari, bila hujan turun seperti saat ini membuat kita nyesek aja.
“ mau kemana kamu den? Mau hujan gini kok!”
terdengar suara Ibu dari ruang tamu yang berniat untuk mendekatiku. Ku hidupkan
motorku, dan niatku untuk memanaskannya dahulu, “ Mau kumpul sama temen-temen
bu, bawa mantel kok aku. tenang aja” jawabku enteng. “hati-hati, kalo hujannya
deras meneduh dulu” kata Ibu, yang tengah sibuk memberesi tatanan bunga yang
sudah tak berbentuk dengan indah. “ Iya, tenang aja bu. Berangkat ya bu, Assalammualaikum”.
Ku lajukan motorku dengan kecepatan rata-rata
sekitar 60 sampai 80 /km. Karena aku takut hujan turun ketika aku berada di
pertengahan sawah, dan pastinya tidak ada tempat untuk berteduh. Dan selalu
dalam benakku mengucapkan berbagai doa dan permohonan untuk sebentar saja
menahan hujan itu turun hingga aku sampai dipemukiman warga. Selamat kataku,
setelah aku berhasil melewati pematangan sawah tanpa kehujanan, namun kali ini
doaku tidak dikabulkan ketika dipemukiman warga, belum selesai aku
mengkomat-kamitkan bibirku dengan berbagai ayat dan doa untuk menghentikan
niatan Tuhan untuk menurunkan hujan itu, tapi aku telah didahului oleh tetesan
air hujan yang pertamanya hanya satu namun berubah menjadi ribuan yang datang
seperti gerombolan lebah yang menyerbu dengan sengatannya yang terasa sakit
ketika terkena kulit. Sial, gumamku. Masih kulajukan motor ini dengan kecepatan
rata-rata medium kali ini, agar aku bisa melihat tempat yang pas untuk
berteduh.
Dari kejauhan aku melihat sebuah warung yang
tutup dan memiliki atap yang menjorok pas untuk meneduhkan diriku dan motorku,
dan aku mengetahui rumah disebelah kiri
warung itu adalah rumah teman SMP ku dahulu. Dan sampai saat ini maupun
kemarin aku tak pernah lagi berkunjung kerumahnya bertemu dengannya saja tak
pernah lagi. Aku melihat satu motor metic berwarna putih yang berteduh ditempat
itu sama denganku, namun aku malas untuk melihat orang yang membawanya, namun
yang kutahu orang itu berkelamin laki-laki.
Ku melihat jaketku yang berwarna biru tua itu,
dan melepasnya lalu kurentangkan diatas kepala motorku, agar angin membuatnya
kering walau sepertinya tidak mungkin. Ternyata hujan tadi memang keroyokan
datangnya, sehingga membuat basah jaketku dan bila melihatnya sepintas warnanya
seperti berubah menjadi warna hitam. Aku sedikit menengok kearah kiriku,
terlihat ada tempat duduk yang terbuat dari semen, dan aku melihat lelaki itu
duduk dipojokannya.
“Kenapa hanya dia saja si yang berteduh
disini,dan coba saja dia duduk diatas motornya saja. Dan aku yang pertama kali
untuk duduk disitu dan apabila diduduki untuk 4 orang sepertinya cukup” kesalku
didalam hati.
Tinggi, dia memakai jaket warna hitam, dan
helm yang disebelahnya warna putih. Aku tak sengaja memperhatikannya dengan
cara melirik sehingga aku mengetahui ciri-ciri itu. Dia duduk santai sambil
mengamati hujan yang turun, sedangkan aku berdiri didepan motorku dan selalu
sibuk mengomat-ngamitkan bibirku ketika kilat memunculkan sinar yang
menyilaukan mata dan mendebarkan jantung ketika petir bergemuruh.
Aku tak tahan lagi saat itu, kuberanikan diri
untuk melihat bagian kosong, dan menghilangkan rasa malu dan berjalan menuju
bangku itu, ketika itu aku seperti lakon teater dan setiap tingkah laku ku
pasti menjadi perhatian pemuda itu, ketika aku berjalan menuju bangku itu
misalnya. Dia memperhatikan aku, walau aku sebenarnya tak melihat dia, namun
aku tau gerak gerik pemuda itu. Ya walaupun bisa dibilang hanya ke-geeran ku saja.
Disaat ku melangkah aku menyempatkan untuk melihat wajah pemuda itu. Seperti orang
bego, aku menunjuk kearah dia dan berkata “Alde?” dan pemuda itu pun membalas
“Dena?”
Ya, dia pasti tidak mengetahui aku saat
berdiri tadi, karna untuk menutupi maluku helm yang kukenakan sengaja tak ku
lepas, entah maksud dari tingkahku itu apa, aku pun tak tau. Aku segera
mempercepat langkahku untuk menuju bangku itu dan sekarang aku telah
disampingnya, duduk disebelahnya dan dipisahkan oleh helmku dan helmnya ditengah-tengah.
Sedangkan itu hujan sepertinya mulai menjadi-jadi menurunkan airnya ke dahan
pohon disebelah tempat dudukku ke tanah maupun diatap warung tempat berteduhku
saat ini, iramanya bersahut-sahuttan, dan petir mengirinya dengan suara gemuruh
yang selalu membuat jantung berdebar dan aku selalu berharap untuk pulang dan
bersembunyi dikamarku dan menutupi telingaku dengan bantalku.
Alde, dia adalah teman TK dan SD ku dulu, sudah
lama aku tak pernah melihat dia, walaupun kami satu kampung. Tapi aku sempat melihat
dia di jejaring sosial yang lagi marak didunia nyata. Dia sekarang sudah tumbuh
menjadi remaja yang tampan dan manis, aku saja sempat heran kenapa dia begitu
tampan ketika remaja sekarang, dan bila mengingat kembali saat TK dulu, seorang
Alde masih dengan polosnya, yang selalu merengek kepada guru bila aku selalu
menjahili dia. Ya, dia dulu menjadi korban kejahilian ku sewaktu TK, namun bila
ku tahu dia akan berubah menjadi sosok pemuda tampan dan semanis ini, dulu tak
akan pernah kujahili dia dan malah aku akan memilih menjadi sahabat kecil yang
selalu didekatnya, lalu akan aku ajak untuk bermain Putri dan Pangeran.
Awan kini menjadi putih namun rintikan hujan
masih turun dengan membabi buta, tanpa memikirkan kepentingan orang-orang yang
selalu mengeluh karna ulahnya, sehingga menghambat kepentingan mereka, seperti aku. Dan kilat masih
terus mengeluarkan cahaya yang selalu membuat debaran jantung mengebu-gebu.
Terdengar suara handphoneku berbunyi, dan itu nada pesan masuk dihandphoneku,
dari Maya...
Kamis, 14 Februari 2013 @ 09:45
Den, dimana? Udah dijalan tah? Hujan deres nih
disini... :(
Aku sedikit ragu untuk membalas pesan singkat
dari Maya, sebab banyak orang bilang bahwa ketika hujan lebat dan petir
bersahut-sahuttan handphone sebaiknya dimatikan, karena itu dapat menyambar.
Ya, aku selalu percaya dari omongan-omongan yang masih dibilang Hoax oleh
mereka yang tidak mempercayainya. Namun, aku takut Maya khawatir, ku beranikan
untuk membalas pesan singkat untuknya.
Kamis, 14 February 2013 @ 09 : 52
May, aku lagi neduh nih.. disini juga hujan
deres, malah masih dikawasan rumah ku juga hujannya... :(
Segera ku masukan handphoneku kedalam tasku.
Keadaan saat itu seperti patung, saling
berdiam dan saling bingung ingin membicarakan apa dengan keadaan kilat yang
selalu menyilaukan mata seperti ini. Andaikan aku masih TK seperti dulu, yang
tak punya malu, dan selalu cerewet kepada siapapun. Tapi, sekarang kami bertemu
ketika tubuh kami mulai berubah dan tingkah laku kami sudah berbeda ketika
kecil dulu. Namun Alde saat itu memulai pembicaraan terlebih dahulu,
“ Mau kemana den?” dengan suara yang pelan
namun aku begitu jelas dengan suara indah dan begitu ngebas yang dia milikki,
dengan membetulkan posisi duduk ku, yang kini sedikit mengarah kepadanya
“ Mau
main sama temen, malah hujan.. lah kamu?”
“ Aku, dari kampus aku. trus mau pulang
kerumah. Malah kena hujan disini.. apes “ katanya dengan senyum miris namun
masih terlihat tampan.
“ Iya, ya cuaca kayaknya lagi labil, mungkin
lagi sedih karna ditinggal pasangannya jadi nangis mulu dianya.”
“ hahaha, ada-ada aja kamu, mungkin kamu kali
yang lagi galau... hehehe “ ledeknya dengan ditambahkan senyuman yang
memperliatkan susunan rapih giginya, menjadikan dia begitu manis ketika itu.
“ Loh, kok aku?, aku gak suka hujan, apalagi
petirnya, membuat jantung berdebar aja... “ kataku
“ Aku begitu suka hujan, apalagi ketika hujan
datang pertama kali disaat kemarau berdatangan, aroma khas yang dia teteskan
didasar tanah membuat hati tenang karna kita tau bahwa aku tak perlu lagi untuk
mengambil air ditetanggaku.” Jawabnya dengan santai. Dan iya menambahkan “ dan Ada yang percaya bahwa di dalam hujan terdapat lagu yang hanya
bisa didengar oleh mereka yang rindu sesuatu. Senandung rindu yang bisa
meresonansi ingatan masa lalu.
Kontan aku mencerna perkataan dia, bahwa
seorang Alde telah tumbuh menjadi dewasa, dewasa yang lebih sempurna, yang bila
ditambahkan dengan fisiknya membuat nilai plus dimataku.
“ Ciee, sering galau dong waktu hujan turun, iyaa
si.. kata orang-orang, hujan pasti membuat rasa rindu itu muncul”
belum selesai aku mengatakan perkataan ku,
suara petir yang begitu keras mengagetkan kami.
“ Tuh kan, aku gak suka dengan hujan. Apalagi
petir yang tadi, rasanya pingin pulang ambil bantal trus sumpel ke kuping”
gerutukku.
“ jika kamu tidak menyukai petir jangan kamu
sangkut pautkan kepada hujannya, menurut
aku hujan adalah sesuatu yang paling berani yang pernah
diciptakan Tuhan, karena mereka tidak pernah takut untuk jatuh."
Kata-kata dia membuat aku tak berenti untuk
menatap dan mengagumi wajahnya yang bersahaja itu, semakin dia mengatakan
pernyataan yang biasa namun diubahnya menjadi luar biasa semakin aku mengagumi
dia dari sekarang, bahkan saat kita duduk berdua dibangku ini.
“ ternyata Alde udah dewasa yah, hiihihih, Oiya, gimana kuliah? Lancarkan.. “
“ Tua itu pasti dena, tapi kalo dewasa itu
pilihan… Alhamdulilah lancar kuliahku, ini lagi ngajuin beasiswa na, yaa semoga
aja bisa diterima, lumayan buat bantu orang tua” jawabnya
“ Iya juga si, dewasa
itu pilihan, dan saya memilih untuk kali ini masih menjadi seorang anak kecil
saja deh, yang bebas tanpa fikiran yang begitu menguras otak apalagi tentang
pelajaran. Hebat… semoga saja diterima de “ kataku dengan senyuman yang
menurutku manis
“ Ikhlas selalu
dibilang kolot oleh orang-orang tapi wajah dan fisik kita terliat tua? Malah jadi
aneh den, dewasa gak rugi kali. Kita bisa mengkontrol tangisan kita ketika
ditempat umum, sedangkan sewaktu kecil kita seperti tak punya malu untuk
merengek ditempat umum karna tak dibelikan mainan.” Jawabnya dengan sedikit
tegas
“ Iya, tapi dewasa
selalu membohongi orang-orang disekitar kita. Apalagi tentang keceriaan kita,
yang selalu harus terliat tegar didepan mereka agar kita tak dianggap lemah
oleh mereka, tapi ketika masih kecil, kita masih polos dan selalu mengatakan
kebenaran tanpa harus membohongi siapa pun, karna dulu kita berbicara belum
menggunakan hati namun kita berbicara dengan kepolosan dan kafaktaan yang kita
liat. “ kataku
“ Ya, kalo itu
sepertinya factor keadaan den kebiasaan kita. Namun yang terpenting saat
dewasa, kita akan tau begitu kejamnya dunia dan kita harus mempunyai senjata
untuk membentengi kita dari orang-orang yang munafik diluar sana. “ ucapnya
dengan keyakinan dan senyuman yang mengarah kepadaku, dan aku makin menyukai dia.
Tak terasa sudah satu
setengah jam kami berdua mengobrol dibawah atap warung ini, mengobrolkan cerita
yang berasal dari masa lalu, masa kini dan bila dia mau untuk menjadikan aku
sebagai masa depannya kelak itu sangat kuharapkan. Dan sudah lama pula hujan
ini tak kunjung untuk menghentikan rintikan airnya, namun aku berterima kasih
kepadanya karna berkat dia aku dapat lama menikmati sebuah pelangi yang Tuhan
kirimkan di sela-sela hujan ini turun, yaitu senyuman dia, berharap tak usah
berhenti dan aku dan dia bisa mengobrol tentang apa saja dan topic apa saja
asalkan senyuman itu selalu ada diakhir perkataan dia. Aku suka, sangat suka.
Aku berfikir
sepertinya hujan tidak akan berhenti sampai siang, kuputuskan untuk menghubungi
kepada Maya, untuk membatalkan pertemuan kita. Dan dia menyutujuinya. Namun, ketika
aku dan Alde melihat hujan ini
memperlambat rintikannya, kami memutuskan untuk pulang, dan kami beriringan
pulang kerumah kami masing-masing.
Dan aku menyadari
bahwa hari ini adalah hari kasih sayang yang hanya dimeriahkan oleh orang-orang
yang memiliki pasangan saja, namun kali ini statement itu dapat dipatahkan
bahwa Tuhan memang Maha Romantis, mempertemukan aku dengan Alde secara tidak
sengaja dan bertemu dengan keadaan berteduh dari guyuran hujan, dan Alde kuanggap seperti Pelangi yang datang ketika hujan reda.
Dan berkat kamu, aku sekarang sudah menyukai
hujan, karna hanya kepada hujan, biarkan
rindu ini basah kuyup menantikan pertemuan, biarkan ia menggigil kesakitan.
Sebab, hanya ini yang mampu aku lakukan.
Aku ingin kau tahu, diam-diam, aku selalu menitipkan harapan yang sama ke
dalam beribu-ribu rintik hujan yaitu : Aku ingin hari depanku selalu bersamamu.
Untukmu… pelangiku :)